KONFLIK
Pengertian Konflik
Konflik berarti pertentangan antara
orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi. Nimran (1996)
mendefinisilan konflik sebagai kondisi yang dipersepsikan ada diantara
pihak-pihak (individu, kelompok dan lain-lain), dimana salah satu pihak atau
lebih merasakan adanya ketidaksesuaian tujuan dan peluang untuk mencampuri
usaha pencapaian tujuan pihak lain. Robbins (2006) memberikan definisi tentang konflik sebagai suatu proses
yang bermula ketika satu pihak menganggap pihak lain secara negatif
mempengaruhi, atau akan secara negatif mempengaruhi, sesuatu yang menjadi
kepedulian pihak pertama. Definisi ini oleh Robbins (2006) sengaja dibuat luas,
dimana definisi ini menjelaskan bahwa titik tertentu pada setiap kegiatan yang
tengah berlangsung bila berinteraksi atau bersilangan dapat menjadi konflik
antar pihak. Selain itu definisi ini juga mencakup rentang luas
konflik yang dialami orang dalam organisasi seperti ketidakcocokan sasaran,
perbedaan penafsiran fakta, ketidaksepakatan yang didasarkan pengharapan perilaku,
dan semacamnya.
Dari kedua definisi di atas kiranya dapat
dipahami bahwa konflik pada dasarnya adalah proses yang dinamis dan
keberadaannya lebih banyak menyangkut persepsi dari orang atau pihak yang
mengalami dan merasakannya.
Sumber Konflik
Di dalam suatu organisasi, apapun bentuk
organisasi itu, konflik dapat terjadi. Konflik tersebut dapat terjadi antara
seseorang dengan dirinya sendiri, antara seseorang dengan orang lain, antara
suatu kelompok dengan kelompok lain dan dapat pula terjadi antara suatu unit
organisasi dengan unit organisasi yang lain. Dengan mengetahui hal-hal yang
mendahului (anteseden) konflik, diharapkan pimpinan organisasi mampu
mengantisipasi konflik dan mengambil langkah-langkah penyelesaian jika konflik
menjadi disfungsional.
Hellriegel (1992) membedakan konflik
menjadi.
1.
Konflik intra individu, yaitu konflik yang dihadapi atau dialami oleh
individu dengan dirinya sendiri karena adanya tekanan peran dan ekspektasi dari
luar yang berbeda dengan keinginan atau harapannya.
2.
Konflik antar individu, yaitu konflik yang terjadi antara individu yang
berbeda dalam satu kelompok ataupun antara individu yang berada di kelompok
yang berbeda.
3.
Konflik antar kelompok, yaitu konflik yang bersifat kolektif antara satu
kelompok dengan kelompok yang lain.
4.
Konflik organisasi, yaitu konflik yang terjadi antara unit-unit organisasi
yang dapat bersifat struktural dan fungsional.
Untuk membuat perbedaan antara konflik-konflik tersebut banyak ahli yang
mendasarkan pada sumber timbulnya
konflik, dimana menurut Walton (1989) sumber konflik dapat dibedakan menjadi
dua jenis, yaitu.
1.
Konflik Substantif, meliputi ketidaksesuaian paham tentang hal-hal misalnya
seperti tujuan, alokasi sumber-sumber, distribusi imbalan, kebijakan, dan
prosedur penugasan pekerjaan.
2.
Konflik emosional, yang timbul karena perasaan marah, ketidakpercayaan,
ketidaksenangan, takut, sikap menentang dan bentrokan kepribadian.
Robbins (2006) membagi sumber-sumber konflik seperti di bawah ini.
1.
Saling ketergantungan tugas, berarti sampai berapa jauh dua unit dalam
suatu organisasi tergantung satu sama lain. Adanya ketidakserasian kerja antara unit kerja satu
dengan unit kerja lain akan memicu timbulnya konflik. Kesalingtergantungan
pekerjaan menimbulkan intensitas hubungan antara unit kerja satu dengan unit
kerja lainnya, jika dipaksakan untuk berinteraksi maka potensi terjadi
konflikpun meningkat.
2.
Ketergantungan tugas satu arah, kemungkinan timbulnya konflik akan lebih
besar bila ada suatu unit kerja yang tergantung pada unit kerja yang lain, bila
dibandingkan dengan timbulnya konflik dalam saling ketergantungan tugas-tugas
adalah di dalam ketergantungan tugas satu arah terdapat unit yang berada di
bawah merasakan adanya unsur paksaan dari unit kerja di atasnya atau dapatpula
ketergantungan tugas satu arah berasal dari atasannya.
3.
Diferensiasi horisontal yang tinggi. Semakin banyak unit-unit kerja maka
makin besar kemungkinan terjadinya konflik, karena semakin besar perbedaan
kepentingan antara unti-unit atau antara anggota organisai, karena tugas-tugas
yang dilaksanakan masing-masing unit kerja serta lingkungan.
4.
Formalisasi yang rendah. Peraturan mengurangi konflik dengan mengurangi
kedwiartian. Dengan tersedianya tingkat formalisasi yang cukup maka tugas-tugas
yang harus dikerjakan oleh setiap unit di dalam organisasi akan jelas, tetapi
bilamana formalisasi rendah maka tugas-tugas kurang jelas, sehingga kemungkinan
timbulnya konflik makin besar.
5.
Ketergantungan pada sumber-sumber langka yang digunakan bersama. Bilamana
dua unit atau lebih tergantung pada satu umber daya yang jumlahnya terbatas
sedangkan unit kerja yang membutuhkan banyak, maka kemungkinan timbulnya
konflik dari unit-unit tersebut makin besar.
6.
Perbedaan dalam kriteria evaluasi dan sistem imbalan, bilamana manajemen
organisai di dalam mengadakan evaluasi serta pemberian imbalan terhadap bagian
yang satu mempunyai kriteria yang berbeda dengan bagian yang lain maka akan
terjadi konflik.
7.
Pengambilan keputusan yang partisipatif. Bukti telah menunjukkan bahwa
bilamana pengambilan keputusan yang dilaksanakan secara bersama, dimana anggota
organisasi yang akan terpengaruh keputusan tersebut diikutsertakan dalam suatu
pengambilan keputusan maka akan dapat menimbulkan konflik. Hal ini dikarenakan
proses partisipatif memungkinkan terdapatnya kesempatan yang besar untuk
terungkapnya perselisihan atau ketidaksepakatan, terutama bilamana terdapat
perbedaan nilai antara para partisipan.
8.
Heterogenitas dari para anggota. Semakin heterogen para anggota, maka semakin
kecil kemungkinan untuk bekrjasama dengan lancar dan kooperatip berarti semakin
besar kemungkinan timbulnya konflik. Keanekaragaman anggota organisasi dalam
suatu organisasi karena adanya perbedaan nilai, kepercayaan dan latar belakang.
9.
Ketidakcocokan status. Bila salah satu anggota organisasi mempunyai lebih
banyak status dibandingkan dengan anggota organisasi lainnya, keadan ini
menimbulkan perasaan tidak senang dari anggota organisasi yang lain, maka hal
ini dapat memicu timbulnya konflik.
10.
Ketidakpuasan peran. Ketidakpuasan peran dapat timbul karena berbagai
sumber, antara lain karena ketidakcocokan status. Misalnya seseorang menerima
suatu peran, maka yang bersangkutan tersebut kemudian mempunyai serangkaian
harapan dan aspirasi pada peran tadi. Bilamana harapan-harapan tadi tidak
terpenuhi, ada kemungkinan orang tersebut mengadakan perlawanan dan orang ini
akan menjadi pendorong timbulnya suatu konflik.
11.
Gangguan komunikasi. Suatu hal yang bisa dipahami oleh banyak pihak
bilamana terdapat gangguan komunikasi baik komunikasi vertikal maupun horisontal,
akan mengakibatkan timbulnya konflik karena adanya ketidaktepatan informasi dan
ketidakakuratan informasi.
Proses Konflik
Nimran (1996)
mengemukakan salah satu cara untuk memahami konflik sebagai suatu proses adalah
dengan menggunakan model Pondy mengenai episode konflik. Di dalam model
tersebut ditunjukkan adanya serangkaian tahap sebagai berikut.
1.
Latent conflict, yaitu tahap
munculnya faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik di dalam organisasi.
2.
Perceived conflict, yaitu tahap dimana salah satu pihak memandang bahwa pihak lain seperti
akan menghambat atau mengancam pencapaian tujuannya.
3.
Felt conflict, yaitu tahap dimana
konflik tidak hanya sekedar dipandang atau dianggap ada, tetapi sudah
benar-benar dirasakan dan dikenali keberadaannya.
4.
Manifest conflict, tahap dimana perilaku tertentu sudah mulai ditunjukkan sebagai pertanda
adanya konflik, misalnya sabotase, agresi terbuka, konfrontasi, dan rendahnya
kinerja.
5.
Conflict resolution, adalah tahap dimana konflik yang ada diselesaikan atau ditekan dengan
berbagai macam cara dan pendekatan, mulai dari menghindari terjadinya sampai
pada menghadapi konflik itu dalam usaha mencari jalan keluar sehingga
pihak-pihak yang terlibat mencapai tujuannya.
6.
Conflict aftermath, tahap ini mewakili kondisi yang dihasilkan oleh proses sebelumnya
(penyelesaian konflik). Jika konflik benar-benar telah terselesaikan, maka hal
itu akan meningkatkan hubungan diantara para anggota organisasi, dan jika
penyelesainanya tidak tepat, hal tersebut akan menjadi pemicu bagi timbulnya
konflik baru.
Mengelola Konflik
Konflik yang ada harus dikelola dengan baik agar memberikan efek yang
positif bagi organisasi. Kegagalan dalam mengelola konflik dapat mengarah pada
akibat yang dapat mencelakakan. Konflik dapat menghancurkan sebuah organisasi
dengan menciptakan dinding pemisah diantara rekan kerja, menghasilkan kinerja
yang buruk dan bahkan pengunduran diri.
Pimpinan organisasi harus menyadari bahwa sebab-sebab konflik jenisnya
berlainan, sehingga alat yang digunakan untuk menyelesaikan konflikpun
berlainan, tergantung pada keadaan. Memilih sebuah resolusi konflik yang cocok
tergantung pada beberapa faktor termasuk alasan mengapa konflik terjadi dan
hubungan khusus diantara pimpinan dan kelompok yang berkonflik.
Gibson (2003) mengemukakan beberapa metode untuk mengatasi konflik, yaitu.
1.
Pemecahan masalah.
Metode ini digunakan untuk mengurangi
ketegangan melalui pertemuan tatap muka kelompok yang berkonflik. Tujuan
pertemuan adalah untuk mengenal konflik dan menyelesaikannya.
2.
Tujuan superordinat.
Teknik tujuan superordinat melibatkan
pengembangan sebuah himpunan tujuan dan sasaran yang tidak dapat diperoleh
tanpa kerjasama dari kelompok yang terlibat. Kenyataannya, tujuan tidak dapat
dicapai hanya oleh satu kelompok dan menghilangkan semua tujuan yang lain dari
suatu kelompok yang terlibat dalam konflik.
3.
Perluasan sumber daya.
Seperti telah diketahui sebelumnya, sebab
utama konflik antar kelompok adalah terbatasnya sumber daya. Kelangkaan sumber
daya mungkin berupa sebuah kedudukan khusus, uang atau ruang. Perluasan sumber
daya mungkin merupakan salah satu cara untuk memecahkan suatu masalah.
4.
Menghindari konflik.
Kadang-kadang para pimpinan dapat menemukan
beberapa cara untuk menghindari konflik. Menghindari konflik mungkin tidak
membawa manfaat jangka panjang dan hanya merupakan pemecahan jangka pendek.
5.
Melicinkan konflik.
Suatu teknik yang menekankan kepentingan
umum dari kelompok yang berkonflik dan melunakkan perbedaan-perbedaannya.
6.
Kompromi.
Dalam kompromi tidak ada pihak tertentu
sebagai pemenang atau pecundang, dan keputusan yang dicapai mungkin tidak ideal
untuk kedua kelompok. Kompromi dapat digunakan secara efektif bila tujuan
(misalnya, uang) dapat dibagi secara adil.
7.
Penggunaan kekuasaan.
Dengan menggunakan cara ini, pimpinan
dengan mudah menyelesaikan masalah dan mengkomunikasikan keinginan-keinginannya
kepada kelompok yang terlibat. Bawahan berpegang pada keputusan atasan, apakah
dia setuju atau tidak.
8.
Penggantian variabel manusia.
Merupakan usaha untuk mengubah perilaku
anggota kelompok. Cara ini berfokus pada satu atau beberapa
sebab konflik dan pada sikap dari orang-orang yang terlibat konflik.
9.
Penggantian variabel struktural.
Cara lain untuk menyelesaikan konflik antar
kelompok adalah mengganti variabel struktural. Hal ini melibatkan perubahan
struktur organisasi yang resmi.
10.
Mengidentifikasi musuh bersama.
Kelompok-kelompok yang berkonflik
kadang-kadang dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan bersatu memerangi
musuh bersama. Musuh bersamanya mungkin pesaing baru yang baru saja
memperkenalkan produk yang lebih bagus.
11.
Proses perundingan, perundingan mempertemukan dua pihak dengan kepentingan
yang berbeda atau berkonflik, bersama-sama untuk mencapai sebuah persetujuan. Biasanya
tiap pihak akan membawa serangkaian usulan yang kemudian didiskusikan dan
dilaksanakan.
Hubungan Tingkat Konflik dengan Kinerja
Robbins (2006) menjelaskan bahwa berdasarkan akibat yang ditimbulkan dari
konflik terhadap organisasi, maka dapat
dibedakan menjadi konflik fungsional dan konflik disfungsional.
1.
Konflik fungsional : adalah konflik-konflik yang mendukung sasaran
organisasi dan meningkatkan kinerja organisasi. Konflik ini menguntungkan dan
mendukung tujuan organisasi yang utama.
2.
Konflik disfungsionnal : adalah konflik-konflik yang menghambat kinerja
organisasi, konflik ini sifatnya merusak dan tidak diinginkan oleh pimpinan
organisasi.
Tabel
1
Hubungan Tingkat Konflik dengan
Kinerja
Situasi
|
Tingkat
Konflik
|
Tipe
Konflik
|
Sifat
Internal Organisasi
|
Tingkat
Kinerja
|
A
|
Rendah
atau tidak ada
|
Tidak berfungsi
|
·
Apatis
·
Membosankan
·
Tdk ada respon utk berubah
·
Kekurangan ide baru
|
Rendah
|
B
|
Optimal
|
Fungsional
|
·
Bersemangat
·
Krtitik diri
·
Inovatif
|
Tinggi
|
C
|
Tinggi
|
Tidak berfungsi
|
·
Memecah belah
·
Suasana kacau balau
·
Tidak dapat bekerjasama
|
Rendah
|
Sumber: Robbins,
Stephen P. 2006. Organizational Behavior:
Concep, Controversies, and Application. Eanglewood Cliffs, NY:
Prentice-Hall.
Suatu organisasi yang dapat menyesuaikan dengan perubahan lingkungan, mempunyai
semangat kerja tinggi mau mengoreksi diri dan mau berusaha untuk menemukan
sesuatu yang bermanfaat maka tingkat kinerja tersebut tinggi. Perbedaan
pendapat atau konflik yang terjadi di dalam suatu diskusi untuk memutuskan
rencana atau pelaksanaan kegiatan dianggap suatu kejadian yang wajar, bahkan
kejadian tersebut akan menumbuhkan rasa puas.
Bilamana situasi organisasi membosankan, kurang ada ide-ide baru dan apatis
terhadap perubahan lingkungan maka konflik tidak terjadi dalam organisasi
sehingga tingkat kinerja organisasi rendah. Apalagi jika situasi organisasi
kacau, tidak ada koordinasi antara bagian yang satu dengan bagian yang lain
maka kinerja organisasi akan rendah. Jadi rendahnya kinerja karena tingkat
konflik yang rendah atau tingkat konflik yang tinggi.
Konflik
fungsional ditengarai dapat mendorong kinerja, oleh sebab itu ada beberapa
teknik yang dapat mendorong terjadinya konflik fungsional, diantaranya adalah.
1.
Komunikasi, dengan menempatkan informasi secara hati-hati ke dalam saluran resmi
untuk menciptakan ambiguitas, evaluasi kembali atau konfrontasi.
2.
Mendatangkan orang luar ke dalam kelompok, teknik ini telah banyak
digunakan untuk membuat organisasi yang macet atau sub unit dari organisasi
kembali hidup adalah dengan mempekerjakan atau memindahkan individu yang
berperilaku, bernilai dan berlatar belakang berbeda dari anggota-anggota
kelompok yang ada sekarang.
3.
Mengubah struktur, mengubah susunan organisasi
tidak hanya membantu menyelesaikan konflik antar kelompok tetapi juga menciptakan
konflik. Dengan mengubah struktur akan menimbulkan
persaingan diantara kelompok.
4.
Mendorong adanya persaingan, beberapa pimpinan menggunakan bermacam-macam
cara untuk meningkatkan kompetisi antar kelompok. Insentif seperti hadiah dan
bonus untuk kinerja yang luar biasa sering mendorong terjadinya persaingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar