Teori Motivasi
Secara
umum teori motivasi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
teori kebutuhan, teori proses dan teori pembelajaran.
1.
Teori Kebutuhan
Teori kebutuhan (need theory)
sering disebut juga content theory. Teori ini berangkat dari satu asumsi
bahwa setiap orang pasti mempunyai kebutuhan dan secara natural manusia akan
berusaha dan melakukan berbagai macam tindakan jika ada sebagian atau
keseluruhan kebutuhan tersebut belum terpenuhi. Seperti tampak pada gambar 2,
setiap muncul perasaan kurang, pasti akan muncul pula kebutuhan. Perasaan
kurang akan direspon dengan mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan sehingga
timbul prilaku berorientasi tujuan. Berdasarkan prilaku tersebut pada akhirnya
kebutuhan akan terpenuhi. Proses ini akan berulang mengikuti siklus yang sama
untuk memenuhi kebutuhan lain.
Berdasarkan
uraian diatas, bisa dikatakan bahwa teori kebutuhan mencoba menelaah motivasi
dari sisi kondisi internal seseorang yakni memusatkan perhatiannya pada
faktor-faktor dalam diri individu yang mengerakkan, mengarahkan, mendukung, dan
atau menghentikan perilaku. Jadi, teori ini mencoba menentukan kebutuhan khusus
yang memotivasi orang. Itulah sebabnya teori kebutuhan sering disebut sebagai
teori motivasi yang bersifat statis karena hanya mendasarkan diri pada satu
atau beberapa faktor yang terjadi saat itu dan hanya berorientasi pada masa
kini atau bahkan masa lalu. Akibatnya, teori kebutuhan sulit, kalau tidak
dikatakan tidak bisa, digunakan untuk memprediksi motivasi kerja seseorang. Hal
ini bukan berarti teori kebutuhan tidak penting. Dengan memahami teori
kebutuhan, paling tidak kita bisa memahami faktor-faktor apa saja yang
memotivasi seseorang.
Teori kebutuhan pertama kali dikembangkan
oleh Henry A. Murray pada tahun 1930an. Murray berpendapat bahwa kebutuhan
bukan factor turunan melainkan sesuatu yang bisa dipelajari (learned needs).
Artinya timbulnya kebutuhan lebih disebabkan karena factor lingkungan luar.
Dengan demikian kebutuhan seseorang akan semakin menjadi kenyataan jika
lingkungan mendukungnya. Sebagai contoh, seorang karyawan yang membutuhkan
teman tentunya akan berusaha mencari teman, namun hal itu hanya mungkin
dilakukan jika kondisinya memungkinkan yakni jika ada orang lain yang
meresponnya dan mau dijadikan teman. Berdasarkan hasil observasi dan uji
klinis (bukan berdasarkan penelitian empiris), pada awalnya Murray mendata
adanya 15 kebutuhan. Selanjutnya, kelima belas kebutuhan tersebut dibagi
menjadi dua kelompok yaitu kebutuhan primer (primary needs) dan
kebutuhan sekunder (secondary needs). Termasuk kedalam kebutuhan primer
misalnya makanan, minuman, sex, buang air besar, buang air kecil, menyusu bagi
anak-anak yang semuanya berkaitan dengan fungsi fisiologis. Sedangkan kebutuhan
sekunder meliputi: otonomi, prestasi, afiliasi, dominasi, kekuasaan, rasa
hormat, agresi dan rendah diri. Dalam perkembangannya Murray, sejalan dengan
perjalanan karirnya, menambahkan jenis-jenis kebutuhan lain.
2.
Hierarkhi kebutuhan
menurut Maslow
Salah satu teori kebutuhan
yang sampai saat ini masih popular adalah teori kebutuhan yang dikembangkan
oleh Abraham Maslow. Maslow mengembangkan teori kebutuhan berdasarkan asumsi
bahwa kebutuhan manusia bersifat hirarkhis mulai dari kebutuhan paling dasar
yakni kebutuhan yang harus dipenuhi agar manusia bisa hidup sampai pada
kebutuhan paling tinggi yakni kebutuhan untuk bisa mengembangkan diri. Dalam
mengembangkan teorinya Maslow berasumsi bahwa manusia akan terlebih dahulu
berupaya untuk memenuhi kebutuhan yang lebih pokok. Setelah kebutuhan tersebut
terpenuhi barulah ia mengarahkan perilaku dan tindakannya untuk memenuhi
kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai terpenuhinya
kebutuhan yang paling tinggi yakni mengaktualisasikan dirinya. Berkaitan dengan
hal itu maka asumsi kedua adalah manusia pada dasarnya adalah sosok yang ingin
maju dan berkembang.
Seperti tampak pada gambarO3
Maslow membagi kebutuhan menjadi 5 jenis yang tersusun secara hirarkhis yaitu:
1. Kebutuhan fisiologis. Dalam hirarkhi kebutuhan yang dibuat
Maslow, kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan manusia paling dasar dan termasuk
kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi seseorang agar bisa bertahan hidup.
Termasuk didalamnya adalah: makan, minum, oksigen, tidur dan kebutuhan seks
serta kebutuhan fisik lainnya.
2. Kebutuhan rasa aman. Jika kebutuhan fisiologis secara relatif bisa
terpenuhi maka akan muncul kebutuhan tahap kedua yaitu kebutuhan rasa aman.
Termasuk dalam jenis kebutuhan ini adalah keamanan, perlindungan, bebas dari
rasa takut atau cemas, dan memperoleh kepastian hukum
3. Kebutuhan social. Dalam teks asli, Maslow tidak menggunakan
istilah kebutuhan social melainkan needs for belongingness and love –
kebutuhan untuk bisa diterima oleh lingkungan dan mencintai. Istilah ini kemudian disederhanakan menjadi
kebutuhan social karena esensinya sama. Termasuk dalam kebutuhan social
adalah persahabatan dan hubungan baik dengan orang lain, menyayangi dan
disayangi.
4. Kebutuhan akan penghargaan (esteem). Jenis kebutuhan ini bisa
dibedakan menjadi dua yakni kebutuhan penghargaan yang terfokus pada diri
sendiri (disebut penghargaan internal atau harga diri – self-esteem) dan
penghargaan yang terfokus pada orang lain (penghargaan eksternal). Termasuk
kedalam harga diri internal adalah: kekuatan, kemandirian, kebebasan, prestasi,
menguasai dan percaya diri. Sedangkan harga diri eksternal termasuk: reputasi,
gengsi, status, dominasi, pengakuan, martabat, apresiasi, perhatian dan
terkenal.
5.
Kebutuhan akan aktualisasi
diri (self-actualization). Terakhir, kebutuhan paling tinggi dalam hirarkhi
kebutuhan adalah kebutuhan akan aktualisasi diri yakni kebutuhan untuk
memanfaatkan dan menunjukkan potensi diri. Termasuk didalamnya adalah:
kebutuhan untuk bisa merealisasi keinginannya secara mandiri, dan mengembangkan
diri secara berkelanjutan.
Hirarkhi keubutuhannya
Maslow seperti tersebut diatas, sesungguhnya bisa diklasifikasikan dengan cara
berbeda yakni dengan melihat dari mana kebutuhan tersebut dipenuhi. Dengan
klasifikasi seperti ini, kebutuhan manusia bisa dibedakan menjadi dua yaitu:
1.
Kebutuhan order tinggi. Yang dimaksud dengan kebutuhan order
tinggi adalah kebutuhan-kebutuhan yang bisa dipenuhi dari sumber
internal yakni kebutuhan-kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh orang bersangkutan
seperti: kebutuhan social, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi
diri.
2.
Kebutuhan order rendah. Yang dimaksud kebutuahan order
rendah adalah kebutuhan-kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi secara mandiri oleh
orang bersangkutan melainkan harus melibatkan pihak eksternal seperti:
kebutuhan akan rasa aman, dan kebutuhan fisik/faali.
3.
ERG Theory
Maslow menyadari bahwa teori hierarkhi kebutuhan
yang dikembangkannya masih jauh dari sempurna. Itulah sebabnya Maslow sangat
mendambakan peneliti lain yang menyempurnakannya. Adalah Clayton Alderfer yang
kemudian menyempurnakan teori hirakhinya Maslow. Dari berbagai hasil studi yang
dilakukannya, Alderfer lantas mengajukan teori kebutuhan yang dikenal sebagai
“ERG Theory”. Karena berpijak pada teorinya Maslow, dalam beberapa hal Alderfer
sependapat dengan Maslow dan beberapa hal lainnya tidak sependapat. Teori yang
dikemukakan Alderfer berkesimpulan bahwa lima hierarkhi kebutuhan yang
dikemukakan Maslow dapat dikemas menjadi hanya tiga tingkatan yaitu: existence,
relatedness dan growth needs. Oleh karenanya teori ini disebut “ERG
Theory”. Ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Existence needs. Yang dimaksud dengan existence needs
adalah kebutuhan seseorang untuk bisa bertahan hidup – kebutuhan untuk bisa
eksis. Oleh karena itu, kebutuhan jenis ini meliputi semua factor fisiologis
dan material lainnya yang dibutuhkan manusia untuk bisa bertahan hidup.
Kebutuhan ini identik dengan kebutuhan tingkat pertama dan kedua dalam hirarkhi
kebutuhannya Maslow yaitu kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman.
2.
Relatedness needs.
Yang dimaksud dengan relatedness needs adalah kebutuhan seseorang untuk bisa
berhubungan dan berinterkasi dengan orang lain sehingga dirinya bisa diterima
dan menjadi bagian dari masyarakat. Kebutuhan jenis ini meliputi semua
kebutuhan yang berorientasi social. Jenis kebutuhan ini sama dengan kebutuhan
sosialnya Maslow
3.
Growth needs. Yang dimaksud dengan growth needs adalah
kebutuhan seseorang untuk bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi diri
yang dimilikinya. Jadi growth needs sama dengan aktualisasi diri seperti
dikemukakan Maslow. Disamping itu, termasuk dalam growth needs adalah sebagian
dari kebutuhan harga diri khususnya yang berkaitan dengan harga diri yang
berorientasi internal.
4. Teori Kebutuhan Menurut McClelland
Teori kebutuhan
yang juga sangat popular sampai saat ini adalah teori kebutuhan yang
dikembangkan oleh David McClelland dan tim peneliti yang mendampinginya.
McClelland menyebut teorinya sebagai “learned needs theory”. Dikatakan
demikian karena McClelland, seperti halnya Murray, beranggapan bahwa kebutuhan
bukan merupakan factor bawaan yang melekat pada diri seseorang melainkan
sesuatu yang bisa dipelajari dari lingkungan. Untuk mengembangkan teorinya,
McClelland banyak belajar dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam membesarkan
anak-anak mereka[1]. Kebiasaan orang tua membimbing
anak-anaknya sangat berpengaruh terhadap cara masing-masing individu (anak yang
dibimbing) dalam mempersepsi situasi lingkungan yang pada akhirnya memotivasi
mereka untuk menentukan pilihan dan menggapai suatu tujuan. McClelland
selanjutnya mengatakan bahwa seseorang yang memiliki kebutuhan tertentu
prilakunya berbeda dengan mereka yang tidak memiliki kebutuhan. Dari sini
McClelland kemudian mencoba menelaah daftar kebutuhan yang dikemukakan oleh
Murray dan menyimpulkan bahwa manusia memiliki tiga macam kebutuhan, yakni:
kebutuhan berprestasi (need for achievement – sisingkat nAch), kebutuhan
berafiliasi (need for affiliation – nAff) dan kebutuhan untuk berkuasa (need
for power – nPow). Penjelasan
yang lebih detail dari ketiganya dapat Saudara baca di BMP.
5. Teori Dua Faktor
Disamping ketiga teori kebutuhan yang telah
diuraikan diatas, teori lain yang berbasis kebutuhan adalah teori dua faktor
yang dikembangkan oleh Frederick Herzberg. Teori ini sering disebut
“Motivator-Hygiene Theory”. Esensi dari teori ini adalah factor yang
menyebabkan seseorang merasa puas dan factor yang menyebabkan seseorang merasa
tidak puas ternyata berbeda. Simpulan ini didasarkan pada wawancara yang
dilakukan oleh Herzberg terhadap 203 responden – akuntan dan insinyur. Ketika
mereka ditanya factor apa saja yang menyebabkan mereka merasa tidak nyaman,
tidak senang dan tidak puas, jawabannya ternyata meliputi factor-faktor yang
melingkupi pekerjaan, bukan pekerjaannya itu sendiri, seperti: masalah
administrasi dan kebijakan organisasi, gaji, para supervisor, hubungan antar
teman kerja, dan kondisi tempat kerja. Factor-faktor ini disebut sebagai dissatisfiers
– penyebab ketidakpuasan karena menciptakan potensi ketidakpuasan karyawan
tetapi tidak menjadikan karyawan merasa puas. Artinya, jika organisasi
membenahi factor-faktor ini dampaknya hanya mengurangi ketidakpuasan namun
tidak sampai menciptakan kepuasan. Oleh karena itu yang bisa dilakukan para
manajer adalah menjaga factor-faktor tersebut. Itulah sebabnya factor ini
disebut “hygiene” untuk menunjukkan karakteristiknya yang bersifat preventif.
Sedangkan ketika mereka ditanya factor-faktor apa
saja yang menyebabkan mereka merasa senang, nyaman dan puas dalam pekerjaan,
jawabannya cenderung terkait dengan pekerjaannya itu sendiri, seperti: prestasi
kerja, pengakuan terhadap hasil kerja, sejauh mana pekerjaan tersebut memberi
tantangan bagi dirinya, tanggung jawab yang diemban terhadap pekerjaan dan
kemungkinan dirinya bisa berkembang melalui pekerjaan tersebut. Semua factor
ini terkait langsung dengan tugas seseorang dalam pekerjaan atau sederhananya
terkait langsung dengan isi kandungan pekerjaan. Oleh karena itu Herzberg
menyebutnya sebagai “satisfier” – penyebab kepuasan kerja atau “motivator” –
pemotivasi kerja.
Yang
menarik dari hasil penelitian Herzberg namun sampai saat ini masih menimbulkan
kontroversi adalah kesimpulan yang menyatakan bahwa factor yang menyebabkan
ketidakpuasan dan kepuasan adalah dua factor berbeda, bukan dua factor yang
saling berlawanan – keduanya seperti disebutkan diatas adalah hyegine factor
dan motivator factor.
Seperti tampak pada gambar diatas hygiene factor
dan motivator factor keduanya tidak pernah bertemu dalam satu titik. Hygiene
factor akan bergerak dari “ketidakpuasan” menuju ke “tidak ada ketidakpuasan”.
Sementara motivator factor akan bergerak dari “kepuasan” menuju ke “tidak ada
kepuasan”. Penjelasan ini bisa diartikan pula bahwa kepuasan tidak sama dengan
tidak ada ketidakpuasan. Demikian juga ketidakpuasan tidak sama tidak ada
kepuasan. Gambar diatas secara tidak langsung juga mengatakan bahwa “hygiene
factor” bukan merupakan factor yang menciptakan kepuasan kerja. Artinya kalau
kondisi lingkungan kerja diperbaiki tetap saja tidak akan menyebabkan seorang
karyawan merasa puas. Meski demikian perbaikan lingkungan kerja atau perbaikan
gaji masih tetap diperlukan karena bisa menjaga agar ketidakpuasan tidak
meningkat. Sebaliknya, para manajer perlu memberi perhatian pada “motivator
factor” karena dengan memperbaiki sifat kerja atau memberi pengakuan terhadap
hasil kerja karyawan misalnya bisa meningkatkan kepuasan karyawan.
6.
Teori Proses
Berbeda dengan teori kebutuhan yang menekankan arti
penting kebutuhan sebagai landasan berpijak bagi seseorang untuk bertindak dan
berprilaku, teori proses yang sering disebut juga teori kognitif (cognitive
theory), merupakan teori motivasi yang menyoroti proses terjadinya
motivasi. Teori Proses dengan
demikian mencoba menguraikan dan menganalisis bagaimana perilaku itu
digerakkan, diarahkan, didukung, dan dihentikan. Asumsi yang melandasi teori proses adalah
motivasi tidak terjadi dalam situasi statis seperti diasumsikan pada teori
kebutuhan, melainkan terjadi pada situasi dinamis dan kompleks yang melibatkan
berbagai macam factor penyebab timbulnya motivasi. Artinya, prilaku seseorang tidak
hanya dipengaruhi oleh kebutuhan orang tersebut tetapi juga oleh factor lain
diluar kebutuhan, misalnya persepsi tentang hasil yang akan diperoleh jika
melakukan suatu tindakan, tingkat keadilan terhadap imbalan yang menjadi haknya
dan tingkat kesulitan pekerjaan yang akan dihadapi. Disamping itu, teori proses
juga beranggapan bahwa manusia merupakan sosok yang berpikiran rasional dalam
memilih berbagai alternatif tindakan. Secara rasional manusia cenderung akan
memilih tindakan yang memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian.
Itulah sebabnya teori proses disebut sebagai cognitive theory karena
untuk mengambil keputusan terhadap pilihan-pilihan tindakan dan prilaku
rasional memerlukan informasi yang berada diluar dirinya.
Pada
bagian ini akan dibahas lebih detail tiga teori proses yaitu expectancy
theory (teori pengharapan), equity theory (teori keadilan atau
kewajaran) dan goal setting theory (teori penetapan tujuan).
7. Teori Pengharapan (expentancy theory).
Teori
ini pertama kali digagas oleh Kurt Lewin dan Edward Tolman pada tahun 1930an
dan 1940an. Namun baru pada tahun 1960an teori pengharapan diformulasikan
secara sistematis dan komprehensif. Victor Vroom melalui bukunya “Work
and Motivation” yang diterbitkan tahun 1964 bisa disebut sebagai orang pertama
yang memformulasikan teori pengharapan secara matematis. Vroom mengajukan teori
pengharapan sebagai alternatif terhadap teori kebutuhan yang dianggap memiliki
banyak kelemahan. Dalam pandangan Vroom motivasi merupakan proses yang kompleks
yang melibatkan factor internal maupun eksternal. Oleh karena itu motivasi
tidak bisa dijelaskan hanya dengan teori kebutuhan yang statis yang hanya
melibatkan factor internal.
Teori pengharapan didasarkan pada sautu asumsi
bahwa motivasi ditentukan oleh hasil (outcomes) yang betul-betul diharapkan
akan terwujud sebagai akibat dari usaha yang dilakukan seseorang. Pertanyaannya
adalah factor apa saja yang mempengaruhi seseorang sehingga ia mau mengerahkan
energinya atau melakukan berbagai macam usaha dalam rangka mencapai hasil?
Menurut teori ini, faktor-faktor yang mempengaruhi usaha seseorang adalah (1)
persepsi tentang hubungan antara usaha dengan tingkat keberhasilan usaha atau
kinerja (ekspektasi), (2) persepsi tentang hubungan antara kinerja dengan
keseluruhan hasil (outcomes) yang akan diperoleh (instrumen perantara) dan (3)
nilai manfaat dari hasil (valensi). Sebagai contoh, jika anda sedang
mengerjakan tugas akhir – misalnya menulis skripsi dan meluangkan waktu selama
satu jam sehari (usaha) maka diharapkan dalam sehari anda bisa menghasilkan 3
(tiga) halaman ketikan (kinerja). Dengan 3 halaman ketikan sehari maka dalam
sebulan anda bisa menyelesaikan draft skripsi (hasil keseluruhan atau
outcomes). Pertanyaannya adalah apakah menyelesaikan skripsi dengan segera
menjadi penting atau tidak bagi anda sangat tergantung dari cara pandang anda
terhadap nilai manfaat dari skripsi tersebut. Jika anda merasa bahwa
menyelesaikan skripsi bisa memperbaiki karir maka anda akan termotivasi untuk
meluangkan waktu satu jam per hari untuk menulis skripsi. Sebaliknya, jika anda
merasa bahwa menyelesaikan skripsi dan menyelesaikan studi S1 tidak berpengaruh
terhadap kehidupan anda boleh jadi anda tidak mau meluangkan waktu untuk
menulis skripsi.
Berdasarkan ketiga variable tersebut, bisa
dikatakan bahwa teori pengharapan yang diajukan Vroom melibatkan 3 variabel
kunci yaitu: valensi, intrumen perantara dan ekspektasi. Oleh karenanya teori
pengharapan sering disebut juga VIE theory.
Ekspektasi.
Menurut Vroom yang dimaksud dengan ekspektasi atau harapan adalah keyakinan
seseorang bahwa kinerja merupakan akibat dari kegiatan usaha yang dilakukan
seseorang. Jika seseorang melakukan usaha dengan derajat tertentu maka
diharapkan akan dihasilkan kinerja dengan derajat tertentu pula. Atau dengan
kata lain usaha -------® harapan terhadap suatu kinerja. Berkaitan dengan hal
ini, ada satu catatan penting yang perlu diperhatihan yakni harapan terhadap
sutu hasil merupakan harapan yang bersifat subyektif. Artinya, bisa saja semua
harapan tersebut tercapai atau sebaliknya sama sekali tidak tercapai. Atau
apakah harapan tersebut hanya tercapai sebagian, katakanlah hanya 20%, 35% atau
80% tentunya sangat bergantung pada keyakinan subyektif anda. Jika
harapan-harapan ini dinotasikan dalam bentuk statistik maka kemungkinan
(probabiltas) tercapainya sebuah kinerja bergerak dari 0 sampai 1. Jika harapan
tercapainya kinerja adalah nol (0) berarti usaha yang akan dilakukannya sama
sekali tidak berpengaruh terhadap capaian kinerja. Sebagai contoh, jika anda
seorang tukang ketik namun tidak hafal susunan huruf di keyboard maka
probabalitas untuk tidak membuat salah ketik bisa jadi sangat rendah,
katakanlah hanya 10%. Bahkan mungkin saja probabilitasnya adalah nol yang
berarti anda pasti membuat kesalahan.
Instrumen Perantara.
Yang dimaksud dengan instrumen perantara adalah keyakinan seseorang bahwa
keseluruhan hasil dari sebuah aktivitas sangat bergantung pada keberhasilan
dalam melakukan sebuah aktivitas (kinerja). Artinya, kinerja akan menjadi
instrumen untuk menciptakan keseluruhan hasil. Pada contoh diatas misalnya
menyelesaikan skripsi merupakan instrumen untuk lulus sarjana. Tanpa skipsi bisa dikatakan bahwa anda tidak
mungkin lulus sarjana. Menurut teori ini, instrumen perantara dinotasikan dalam
kisaran antara –1,0 sampai +1,0. Notasi ini mengindikasikan bahwa jika
keseluruhan hasil sepenuhnya tergantung pada kinerja maka derajat perantara =
+1.0. Sedangkan derajat –1,0 menunjukkan bahwa keseluruhan hasil sama sekali
tidak bergantung pada kinerja bahkan sebaliknya. Sebagai contoh, jika anda
meluangkan banyak waktu bahkan ketika di kantor sekalipun untuk menulis skripsi
boleh jadi karir anda malah bermasalah karena tugas-tugas kantor tidak
terselesaikan.
Valensi. Seperti yang dimaksudkan Vroom, valensi adalah nilai manfaat yang
diperoleh dari keseluruhan hasil. Nilai manfaat ini tentunya sangat bergantung
pada preferensi seseorang. Artinya, keseluruhan hasil yang akan diperoleh boleh
jadi dipandang sebagai bermanfaat bagi dirinya (valensi positif) atau
sebaliknya sangat tidak bermanfaat bagi dirinya (valensi negatif). Sebagai
contoh, jika dengan lulus sarjana anda akan mendapat promosi jabatan maka anda
memandang lulus sarjana dengan valensi positif. Sebaliknya jika lulus sarjana
anda malah akan ditempatkan di daerah terpencil yang tidak disukai maka anda akan
menganggap bahwa lulus tidak memiliki nilai manfaat, atau valensi negatif.
Valensi dengan demikian berkaitan erat dengan kebutuhan seseorang. Apakah keseluruhan hasil tersebut sesuai dengan yang
selama ini dibutukannya atau tidak. Dalam notasi, valensi bisa nyatakan dalam
sebuah skala misalnya antara –10 sampai dengan +10. Valensi +10 berarti
keseluruhan hasil sangat cocok dengan kebutuhannya, valensi 0 berarti netral
dan valensi –10 berarti bertolak belakang dengan kebutuhannya.
Dari
keseluruhan penjelasan diatas, akhirnya teori pengharapannya Vroom dapat
dibuatkan formula perhitungan sebagai berikut:
Effort
(Usaha) = exp S (I.V)
Dimana:
exp adalah ekspektasi atau harapan
I adalah Instrumen*perantara
V adalah valensi.
8. Teori Ekspektasi Menurut Porter dan Lawler III.
Teori
pengharapan yang dikemukakan Vroom seperti tersebut diatas kemudian
diperbaharui oleh dua orang peneliti prilaku organisasi yaitu: Lyman Porter dan
Edward Lawlwer III. Kedua peneliti ini
mengembangkan teori perharapannya Vroom untuk (1) mengidentifikasi
sumber-sumber valensi dan ekspektasi dan (2) menjelaskan keterkaitan antara
usaha dengan kinerja dan kepuasan kerja.
9. Equity Theory
Hubungan
kerja antara karyawan dengan perusahaan seringkali dianggap sebagai hubungan
yang bersifat transaksional. Karyawan dan perusahaan seolah-olah merupakan dua
belah pihak yang sedang melakukan transaksi atau pertukaran. Karyawan
merupakan pihak yang menjual sumberdaya (labor power) kepada pihak
perusahaan. Sumberdaya yang dijual karyawan diantaranya adalah: pendidikan,
tenaga kerja, pengalaman, ketrampilan dan usaha. Perusahaan di sisi lain,
sebagai pihak yang membeli jasa karyawan mempunyai kewajiban untuk membayar
karyawan, katakanlah berupa gaji, bonus, kompensasi, promosi jabatan dan
sebagainya. Hubungan pertukaran antara karyawan dengan perusahaan seperti ini
sering disebut sebagai “hubungan saling menerima dan memberi” atau sederhananya
disebut hubungan pertukaran social. Dalam pertukaran social seperti ini, kedua
belah pihak seharusnya memiliki kedudukan setara. Namun dalam praktik, karyawan
seringkali berada pada posisi lemah sehingga tidak jarang karyawan merasa
diperlakukan tidak adil. Akibatnya tidak jarang pula karyawan membalas
ketidakadilan tersebut, yang paling ekstrim misalnya mencuri atau merusak asset
perusahaan dan yang paling sederhana sekedar menunjukkan sikap dan prilaku
negatif terhadap perusahaan dan menurunnya motivasinya.
Gambaran diatas secara tidak langsung menunjukkan
bahwa persepsi karyawan terhadap rasa keadilan/ketidakadilan merupakan salah
satu factor yang mempengaruhi motivasi karyawan dalam bekerja. Teori motivasi
yang menjelaskan hal ini disebut equity theory. Teori yang pertama kali
digagas oleh J. Stacy Adams ini pada dasarnya berasumsi bahwa dalam pertukaran
social, karyawan akan mempertanyakan apakah hubungan kedua belah pihak
merupakan hubungan yang setara atau sebaliknya karyawan diperlakukan secara
tidak adil. Karyawan mengukur tingkat kesetaraan tersebut dengan mengukur
apakah input yang dikeluarkannya sebanding dengan hasil atau outcome
yang akan diterima. Perbandingan input-output ini kemudian diperbandingkan
dengan input-output dari orang lain yang dikenalnya, misalnya yang melakukan
pekerjaan yang sama, memiliki pendidikan sama, atau jenis kelamin sama, atau
dengan pengalaman diri untuk pekerjaan yang sama sebelumnya. Yang dimaksud
dengan input adalah semua pengorbanan yang memungkinkan seorang karyawan
melaksanakan pekerjaan, termasuk didalamnya: pendidikan, pengalaman,
ketrampilan dan usaha. Sedangkan yang dimaksud dengan output adalah berbagai
macam bentuk imbalan yang diberikan perusahaan kepada karyawan. Diantaranya
adalah: gaji, penghargaan, kesempatan untuk mengembangkan diri dan sebagainya.
10. Goal Setting Theory
Sebagai makhluk hidup, manusia pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai.
Sebagian orang menginginkan harmoni kehidupan. Sebagiannya lagi
menginginkan hidup yang sejahtera dan sebagiannya lagi memiliki tujuan hidup
yang lain (lihat modul 2 tentang nilai-nilai individu). Hanya saja tujuan hidup
tersebut terkadang tidak mudah digapai. Penyebabnya bukan karena tidak mampu
menggapainya tetapi lebih disebabkan karena seseorang kadang-kadang diliputi
keraguan dalam menentukan tujuan hidupnya. Misalnya apakah harmoni kehidupan
atau mencapai puncak prestasi yang sesungguhnya menjadi tujuan hidupnya
seringkali tidak bisa ditetapkan secara tegas. Keraguan dalam menetapkan tujuan
secara berturut-turut menjadi penyebab tidak fokusnya upaya untuk mencapai
tujuan tersebut. Sebaliknya, jika seseorang sejak semula telah memiliki dan
menetapkan tujuan yang spesifik, hampir pasti intensitas, pilihan dan
persistensi tindakan akan difokuskan dan diorientasikan kearah tujuan tersebut.
Akibatnya tujuan akan jauh lebih mudah dicapai.
Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi dalam
kehidupan sebuah organisasi. Seorang karyawan yang bekerja serabutan tanpa
tugas, beban kerja dan target yang jelas, jangankan kinerjanya baik, ia malah
sering mengalami frustasi karena tidak ada pedoman dalam melakukan pekerjaan.
Akibatnya pada saat-saat tertentu ia merasa beban kerjanya berlebihan –
overload dan pada waktu yang lain ia merasa sebaliknya underload.
Ujung-ujungnya kinerjanya bahkan semakin memburuk karena terjadi demotivasi.
Sebaliknya jika sejak semula karyawan tersebut diberi tugas, beban kerja dan
target yang jelas dan iapun memahami dan menyadari akan beban tugas tersebut
sebagai beban tugas yang harus diselesaikannya, karyawan tersebut dapat
mengonsentrasikan energi dan upayanya untuk menyelesaikan tugas yang menjadi
tanggungjawabnya. Bahkan bukan tidak mungkin semua target bisa diselesaikannya
dalam waktu yang lebih singkat dari yang diharapkan. Semua ini bisa terjadi
karena kejelasan tugas akan mendorong dan memotivasi seseorang untuk bekerja
lebih baik dan lebih produktif. Atau dengan kata lain, penetapan tujuan (goal
setting) yang jelas akan mempengaruhi motivasi seseorang untuk mencapai
tujuan tersebut dan meningkatkan kinerjanya. Sebagai contoh, ketika Fakultas
Ekonomi Universitas Terbuka menegaskan bahwa modul “Prilaku Organisasi” harus
diselesaikan dalam waktu 8 bulan atau kontrak kerja akan dibatalkan, penulispun
sadar bahwa semua energi harus dikerahkan untuk menyelesaikan modul tersebut
atau pekerjaan menjadi sia-sia.
Teori motivasi yang berkaitan dengan penetapan
tujuan dan dampaknya terhadap kinerja disebut goal setting theory. Teori
ini digagas oleh Edwin Locke pada tahun 1968. Meski sering disebut sebagai
orang pertama yang menggagas goal setting theory, Locke sendiri mengacu
pada mazhab scientific management yang dikembangkan oleh Frederick Taylor.
Menurut Locke, meski Taylor tidak berbicara goal setting, tetapi cara Taylor
mendorong karyawan untuk bekerja lebih produktif, yang ditandai dengan
menetapkan standard pencapaian kinerja, tidak lain adalah sebuah motivasi
berbasis goal setting. Hanya saja, pada waktu itu Taylor menggunakan studi
waktu dan gerak (time and motion study) sebagai dasar untuk menetapkan tujuan
dan kinerja karyawan
Seperti tercermin dari namanya, goal setting theory
merupakan teori motivasi berbasis tujuan. Dengan demikian tujuan dengan segala
variasinya seperti target dan sasaran merupakan kata kunci untuk memahami goal
setting theory. Teori ini menyatakan bahwa tujuan yang spesifik dan sulit, jika
bisa diterima dan dipahami karyawan, akan meningkatkan kinerja karyawan
ketimbang tujuan yang bersifat umum dan tidak spesifik, mudah dicapai dan tidak
ada tujuan.
Dalam hal ini peningkatan kinerja yang disebabkan karena tingkat kekhususan dan
kesulitan tujuan disebut goal setting effect – dampak penetapan tujuan.
Sedangkan prosedur penetapan tujuan disebut goal setting technique –
teknik penetapan tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar