Kamis, 06 Desember 2012


Teori Motivasi

Secara umum teori motivasi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu: teori kebutuhan, teori proses dan teori pembelajaran.
1.      Teori Kebutuhan
Teori kebutuhan (need theory) sering disebut juga content theory. Teori ini berangkat dari satu asumsi bahwa setiap orang pasti mempunyai kebutuhan dan secara natural manusia akan berusaha dan melakukan berbagai macam tindakan jika ada sebagian atau keseluruhan kebutuhan tersebut belum terpenuhi. Seperti tampak pada gambar 2, setiap muncul perasaan kurang, pasti akan muncul pula kebutuhan. Perasaan kurang akan direspon dengan mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan sehingga timbul prilaku berorientasi tujuan. Berdasarkan prilaku tersebut pada akhirnya kebutuhan akan terpenuhi. Proses ini akan berulang mengikuti siklus yang sama untuk memenuhi kebutuhan lain.

Berdasarkan uraian diatas, bisa dikatakan bahwa teori kebutuhan mencoba menelaah motivasi dari sisi kondisi internal seseorang yakni memusatkan perhatiannya pada faktor-faktor dalam diri individu yang mengerakkan, mengarahkan, mendukung, dan atau menghentikan perilaku. Jadi, teori ini mencoba menentukan kebutuhan khusus yang memotivasi orang. Itulah sebabnya teori kebutuhan sering disebut sebagai teori motivasi yang bersifat statis karena hanya mendasarkan diri pada satu atau beberapa faktor yang terjadi saat itu dan hanya berorientasi pada masa kini atau bahkan masa lalu. Akibatnya, teori kebutuhan sulit, kalau tidak dikatakan tidak bisa, digunakan untuk memprediksi motivasi kerja seseorang. Hal ini bukan berarti teori kebutuhan tidak penting. Dengan memahami teori kebutuhan, paling tidak kita bisa memahami faktor-faktor apa saja yang memotivasi seseorang.

Teori kebutuhan pertama kali dikembangkan oleh Henry A. Murray pada tahun 1930an. Murray berpendapat bahwa kebutuhan bukan factor turunan melainkan sesuatu yang bisa dipelajari (learned needs). Artinya timbulnya kebutuhan lebih disebabkan karena factor lingkungan luar. Dengan demikian kebutuhan seseorang akan semakin menjadi kenyataan jika lingkungan mendukungnya. Sebagai contoh, seorang karyawan yang membutuhkan teman tentunya akan berusaha mencari teman, namun hal itu hanya mungkin dilakukan jika kondisinya memungkinkan yakni jika ada orang lain yang meresponnya dan mau dijadikan teman. Berdasarkan hasil observasi dan uji klinis (bukan berdasarkan penelitian empiris), pada awalnya Murray mendata adanya 15 kebutuhan. Selanjutnya, kelima belas kebutuhan tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu kebutuhan primer (primary needs) dan kebutuhan sekunder (secondary needs). Termasuk kedalam kebutuhan primer misalnya makanan, minuman, sex, buang air besar, buang air kecil, menyusu bagi anak-anak yang semuanya berkaitan dengan fungsi fisiologis. Sedangkan kebutuhan sekunder meliputi: otonomi, prestasi, afiliasi, dominasi, kekuasaan, rasa hormat, agresi dan rendah diri. Dalam perkembangannya Murray, sejalan dengan perjalanan karirnya, menambahkan jenis-jenis kebutuhan lain.
2.      Hierarkhi kebutuhan menurut Maslow
Salah satu teori kebutuhan yang sampai saat ini masih popular adalah teori kebutuhan yang dikembangkan oleh Abraham Maslow. Maslow mengembangkan teori kebutuhan berdasarkan asumsi bahwa kebutuhan manusia bersifat hirarkhis mulai dari kebutuhan paling dasar yakni kebutuhan yang harus dipenuhi agar manusia bisa hidup sampai pada kebutuhan paling tinggi yakni kebutuhan untuk bisa mengembangkan diri. Dalam mengembangkan teorinya Maslow berasumsi bahwa manusia akan terlebih dahulu berupaya untuk memenuhi kebutuhan yang lebih pokok. Setelah kebutuhan tersebut terpenuhi barulah ia mengarahkan perilaku dan tindakannya untuk memenuhi kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai terpenuhinya kebutuhan yang paling tinggi yakni mengaktualisasikan dirinya. Berkaitan dengan hal itu maka asumsi kedua adalah manusia pada dasarnya adalah sosok yang ingin maju dan berkembang.

Seperti tampak pada gambarO3 Maslow membagi kebutuhan menjadi 5 jenis yang tersusun secara hirarkhis yaitu:
1.      Kebutuhan fisiologis. Dalam hirarkhi kebutuhan yang dibuat Maslow, kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan manusia paling dasar dan termasuk kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi seseorang agar bisa bertahan hidup. Termasuk didalamnya adalah: makan, minum, oksigen, tidur dan kebutuhan seks serta kebutuhan fisik lainnya.
2.      Kebutuhan rasa aman. Jika kebutuhan fisiologis secara relatif bisa terpenuhi maka akan muncul kebutuhan tahap kedua yaitu kebutuhan rasa aman. Termasuk dalam jenis kebutuhan ini adalah keamanan, perlindungan, bebas dari rasa takut atau cemas, dan memperoleh kepastian hukum
3.      Kebutuhan social. Dalam teks asli, Maslow tidak menggunakan istilah kebutuhan social melainkan needs for belongingness and love – kebutuhan untuk bisa diterima oleh lingkungan dan mencintai. Istilah ini kemudian disederhanakan menjadi kebutuhan social karena esensinya sama. Termasuk dalam kebutuhan social adalah persahabatan dan hubungan baik dengan orang lain, menyayangi dan disayangi.
4.      Kebutuhan akan penghargaan (esteem). Jenis kebutuhan ini bisa dibedakan menjadi dua yakni kebutuhan penghargaan yang terfokus pada diri sendiri (disebut penghargaan internal atau harga diri – self-esteem) dan penghargaan yang terfokus pada orang lain (penghargaan eksternal). Termasuk kedalam harga diri internal adalah: kekuatan, kemandirian, kebebasan, prestasi, menguasai dan percaya diri. Sedangkan harga diri eksternal termasuk: reputasi, gengsi, status, dominasi, pengakuan, martabat, apresiasi, perhatian dan terkenal.
5.      Kebutuhan akan aktualisasi diri (self-actualization). Terakhir, kebutuhan paling tinggi dalam hirarkhi kebutuhan adalah kebutuhan akan aktualisasi diri yakni kebutuhan untuk memanfaatkan dan menunjukkan potensi diri. Termasuk didalamnya adalah: kebutuhan untuk bisa merealisasi keinginannya secara mandiri, dan mengembangkan diri secara berkelanjutan.
Hirarkhi keubutuhannya Maslow seperti tersebut diatas, sesungguhnya bisa diklasifikasikan dengan cara berbeda yakni dengan melihat dari mana kebutuhan tersebut dipenuhi. Dengan klasifikasi seperti ini, kebutuhan manusia bisa dibedakan menjadi dua yaitu:
1.      Kebutuhan order tinggi. Yang dimaksud dengan kebutuhan order tinggi adalah kebutuhan-kebutuhan yang bisa dipenuhi dari sumber internal yakni kebutuhan-kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh orang bersangkutan seperti: kebutuhan social, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri.
2.      Kebutuhan order rendah. Yang dimaksud kebutuahan order rendah adalah kebutuhan-kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi secara mandiri oleh orang bersangkutan melainkan harus melibatkan pihak eksternal seperti: kebutuhan akan rasa aman, dan kebutuhan fisik/faali.

3.      ERG Theory
Maslow menyadari bahwa teori hierarkhi kebutuhan yang dikembangkannya masih jauh dari sempurna. Itulah sebabnya Maslow sangat mendambakan peneliti lain yang menyempurnakannya. Adalah Clayton Alderfer yang kemudian menyempurnakan teori hirakhinya Maslow. Dari berbagai hasil studi yang dilakukannya, Alderfer lantas mengajukan teori kebutuhan yang dikenal sebagai “ERG Theory”. Karena berpijak pada teorinya Maslow, dalam beberapa hal Alderfer sependapat dengan Maslow dan beberapa hal lainnya tidak sependapat. Teori yang dikemukakan Alderfer berkesimpulan bahwa lima hierarkhi kebutuhan yang dikemukakan Maslow dapat dikemas menjadi hanya tiga tingkatan yaitu: existence, relatedness dan growth needs. Oleh karenanya teori ini disebut “ERG Theory”. Ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Existence needs. Yang dimaksud dengan existence needs adalah kebutuhan seseorang untuk bisa bertahan hidup – kebutuhan untuk bisa eksis. Oleh karena itu, kebutuhan jenis ini meliputi semua factor fisiologis dan material lainnya yang dibutuhkan manusia untuk bisa bertahan hidup. Kebutuhan ini identik dengan kebutuhan tingkat pertama dan kedua dalam hirarkhi kebutuhannya Maslow yaitu kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman.
2.      Relatedness needs. Yang dimaksud dengan relatedness needs adalah kebutuhan seseorang untuk bisa berhubungan dan berinterkasi dengan orang lain sehingga dirinya bisa diterima dan menjadi bagian dari masyarakat. Kebutuhan jenis ini meliputi semua kebutuhan yang berorientasi social. Jenis kebutuhan ini sama dengan kebutuhan sosialnya Maslow
3.      Growth needs. Yang dimaksud dengan growth needs adalah kebutuhan seseorang untuk bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi diri yang dimilikinya. Jadi growth needs sama dengan aktualisasi diri seperti dikemukakan Maslow. Disamping itu, termasuk dalam growth needs adalah sebagian dari kebutuhan harga diri khususnya yang berkaitan dengan harga diri yang berorientasi internal.

4.      Teori Kebutuhan Menurut McClelland
Teori kebutuhan yang juga sangat popular sampai saat ini adalah teori kebutuhan yang dikembangkan oleh David McClelland dan tim peneliti yang mendampinginya. McClelland menyebut teorinya sebagai “learned needs theory”. Dikatakan demikian karena McClelland, seperti halnya Murray, beranggapan bahwa kebutuhan bukan merupakan factor bawaan yang melekat pada diri seseorang melainkan sesuatu yang bisa dipelajari dari lingkungan. Untuk mengembangkan teorinya, McClelland banyak belajar dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam membesarkan anak-anak mereka[1]. Kebiasaan orang tua membimbing anak-anaknya sangat berpengaruh terhadap cara masing-masing individu (anak yang dibimbing) dalam mempersepsi situasi lingkungan yang pada akhirnya memotivasi mereka untuk menentukan pilihan dan menggapai suatu tujuan. McClelland selanjutnya mengatakan bahwa seseorang yang memiliki kebutuhan tertentu prilakunya berbeda dengan mereka yang tidak memiliki kebutuhan. Dari sini McClelland kemudian mencoba menelaah daftar kebutuhan yang dikemukakan oleh Murray dan menyimpulkan bahwa manusia memiliki tiga macam kebutuhan, yakni: kebutuhan berprestasi (need for achievement – sisingkat nAch), kebutuhan berafiliasi (need for affiliation – nAff) dan kebutuhan untuk berkuasa (need for power – nPow). Penjelasan yang lebih detail dari ketiganya dapat Saudara baca di BMP.

5.      Teori Dua Faktor
Disamping ketiga teori kebutuhan yang telah diuraikan diatas, teori lain yang berbasis kebutuhan adalah teori dua faktor yang dikembangkan oleh Frederick Herzberg. Teori ini sering disebut “Motivator-Hygiene Theory”. Esensi dari teori ini adalah factor yang menyebabkan seseorang merasa puas dan factor yang menyebabkan seseorang merasa tidak puas ternyata berbeda. Simpulan ini didasarkan pada wawancara yang dilakukan oleh Herzberg terhadap 203 responden – akuntan dan insinyur. Ketika mereka ditanya factor apa saja yang menyebabkan mereka merasa tidak nyaman, tidak senang dan tidak puas, jawabannya ternyata meliputi factor-faktor yang melingkupi pekerjaan, bukan pekerjaannya itu sendiri, seperti: masalah administrasi dan kebijakan organisasi, gaji, para supervisor, hubungan antar teman kerja, dan kondisi tempat kerja. Factor-faktor ini disebut sebagai dissatisfiers – penyebab ketidakpuasan karena menciptakan potensi ketidakpuasan karyawan tetapi tidak menjadikan karyawan merasa puas. Artinya, jika organisasi membenahi factor-faktor ini dampaknya hanya mengurangi ketidakpuasan namun tidak sampai menciptakan kepuasan. Oleh karena itu yang bisa dilakukan para manajer adalah menjaga factor-faktor tersebut. Itulah sebabnya factor ini disebut “hygiene” untuk menunjukkan karakteristiknya yang bersifat preventif.
Sedangkan ketika mereka ditanya factor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka merasa senang, nyaman dan puas dalam pekerjaan, jawabannya cenderung terkait dengan pekerjaannya itu sendiri, seperti: prestasi kerja, pengakuan terhadap hasil kerja, sejauh mana pekerjaan tersebut memberi tantangan bagi dirinya, tanggung jawab yang diemban terhadap pekerjaan dan kemungkinan dirinya bisa berkembang melalui pekerjaan tersebut. Semua factor ini terkait langsung dengan tugas seseorang dalam pekerjaan atau sederhananya terkait langsung dengan isi kandungan pekerjaan. Oleh karena itu Herzberg menyebutnya sebagai “satisfier” – penyebab kepuasan kerja atau “motivator” – pemotivasi kerja.
Yang menarik dari hasil penelitian Herzberg namun sampai saat ini masih menimbulkan kontroversi adalah kesimpulan yang menyatakan bahwa factor yang menyebabkan ketidakpuasan dan kepuasan adalah dua factor berbeda, bukan dua factor yang saling berlawanan – keduanya seperti disebutkan diatas adalah hyegine factor dan motivator factor.
Seperti tampak pada gambar diatas hygiene factor dan motivator factor keduanya tidak pernah bertemu dalam satu titik. Hygiene factor akan bergerak dari “ketidakpuasan” menuju ke “tidak ada ketidakpuasan”. Sementara motivator factor akan bergerak dari “kepuasan” menuju ke “tidak ada kepuasan”. Penjelasan ini bisa diartikan pula bahwa kepuasan tidak sama dengan tidak ada ketidakpuasan. Demikian juga ketidakpuasan tidak sama tidak ada kepuasan. Gambar diatas secara tidak langsung juga mengatakan bahwa “hygiene factor” bukan merupakan factor yang menciptakan kepuasan kerja. Artinya kalau kondisi lingkungan kerja diperbaiki tetap saja tidak akan menyebabkan seorang karyawan merasa puas. Meski demikian perbaikan lingkungan kerja atau perbaikan gaji masih tetap diperlukan karena bisa menjaga agar ketidakpuasan tidak meningkat. Sebaliknya, para manajer perlu memberi perhatian pada “motivator factor” karena dengan memperbaiki sifat kerja atau memberi pengakuan terhadap hasil kerja karyawan misalnya bisa meningkatkan kepuasan karyawan.

6.      Teori Proses
Berbeda dengan teori kebutuhan yang menekankan arti penting kebutuhan sebagai landasan berpijak bagi seseorang untuk bertindak dan berprilaku, teori proses yang sering disebut juga teori kognitif (cognitive theory), merupakan teori motivasi yang menyoroti proses terjadinya motivasi. Teori Proses dengan demikian mencoba menguraikan dan menganalisis bagaimana perilaku itu digerakkan, diarahkan, didukung, dan dihentikan. Asumsi yang melandasi teori proses adalah motivasi tidak terjadi dalam situasi statis seperti diasumsikan pada teori kebutuhan, melainkan terjadi pada situasi dinamis dan kompleks yang melibatkan berbagai macam factor penyebab timbulnya motivasi. Artinya, prilaku seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh kebutuhan orang tersebut tetapi juga oleh factor lain diluar kebutuhan, misalnya persepsi tentang hasil yang akan diperoleh jika melakukan suatu tindakan, tingkat keadilan terhadap imbalan yang menjadi haknya dan tingkat kesulitan pekerjaan yang akan dihadapi. Disamping itu, teori proses juga beranggapan bahwa manusia merupakan sosok yang berpikiran rasional dalam memilih berbagai alternatif tindakan. Secara rasional manusia cenderung akan memilih tindakan yang memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Itulah sebabnya teori proses disebut sebagai cognitive theory karena untuk mengambil keputusan terhadap pilihan-pilihan tindakan dan prilaku rasional memerlukan informasi yang berada diluar dirinya.
Pada bagian ini akan dibahas lebih detail tiga teori proses yaitu expectancy theory (teori pengharapan), equity theory (teori keadilan atau kewajaran) dan goal setting theory (teori penetapan tujuan).

7.      Teori Pengharapan (expentancy theory).
Teori ini pertama kali digagas oleh Kurt Lewin dan Edward Tolman pada tahun 1930an dan 1940an. Namun baru pada tahun 1960an teori pengharapan diformulasikan secara sistematis dan komprehensif. Victor Vroom melalui bukunya “Work and Motivation” yang diterbitkan tahun 1964 bisa disebut sebagai orang pertama yang memformulasikan teori pengharapan secara matematis. Vroom mengajukan teori pengharapan sebagai alternatif terhadap teori kebutuhan yang dianggap memiliki banyak kelemahan. Dalam pandangan Vroom motivasi merupakan proses yang kompleks yang melibatkan factor internal maupun eksternal. Oleh karena itu motivasi tidak bisa dijelaskan hanya dengan teori kebutuhan yang statis yang hanya melibatkan factor internal.
Teori pengharapan didasarkan pada sautu asumsi bahwa motivasi ditentukan oleh hasil (outcomes) yang betul-betul diharapkan akan terwujud sebagai akibat dari usaha yang dilakukan seseorang. Pertanyaannya adalah factor apa saja yang mempengaruhi seseorang sehingga ia mau mengerahkan energinya atau melakukan berbagai macam usaha dalam rangka mencapai hasil? Menurut teori ini, faktor-faktor yang mempengaruhi usaha seseorang adalah (1) persepsi tentang hubungan antara usaha dengan tingkat keberhasilan usaha atau kinerja (ekspektasi), (2) persepsi tentang hubungan antara kinerja dengan keseluruhan hasil (outcomes) yang akan diperoleh (instrumen perantara) dan (3) nilai manfaat dari hasil (valensi). Sebagai contoh, jika anda sedang mengerjakan tugas akhir – misalnya menulis skripsi dan meluangkan waktu selama satu jam sehari (usaha) maka diharapkan dalam sehari anda bisa menghasilkan 3 (tiga) halaman ketikan (kinerja). Dengan 3 halaman ketikan sehari maka dalam sebulan anda bisa menyelesaikan draft skripsi (hasil keseluruhan atau outcomes). Pertanyaannya adalah apakah menyelesaikan skripsi dengan segera menjadi penting atau tidak bagi anda sangat tergantung dari cara pandang anda terhadap nilai manfaat dari skripsi tersebut. Jika anda merasa bahwa menyelesaikan skripsi bisa memperbaiki karir maka anda akan termotivasi untuk meluangkan waktu satu jam per hari untuk menulis skripsi. Sebaliknya, jika anda merasa bahwa menyelesaikan skripsi dan menyelesaikan studi S1 tidak berpengaruh terhadap kehidupan anda boleh jadi anda tidak mau meluangkan waktu untuk menulis skripsi.
Berdasarkan ketiga variable tersebut, bisa dikatakan bahwa teori pengharapan yang diajukan Vroom melibatkan 3 variabel kunci yaitu: valensi, intrumen perantara dan ekspektasi. Oleh karenanya teori pengharapan sering disebut juga VIE theory.

Ekspektasi. Menurut Vroom yang dimaksud dengan ekspektasi atau harapan adalah keyakinan seseorang bahwa kinerja merupakan akibat dari kegiatan usaha yang dilakukan seseorang. Jika seseorang melakukan usaha dengan derajat tertentu maka diharapkan akan dihasilkan kinerja dengan derajat tertentu pula. Atau dengan kata lain usaha -------® harapan terhadap suatu kinerja. Berkaitan dengan hal ini, ada satu catatan penting yang perlu diperhatihan yakni harapan terhadap sutu hasil merupakan harapan yang bersifat subyektif. Artinya, bisa saja semua harapan tersebut tercapai atau sebaliknya sama sekali tidak tercapai. Atau apakah harapan tersebut hanya tercapai sebagian, katakanlah hanya 20%, 35% atau 80% tentunya sangat bergantung pada keyakinan subyektif anda. Jika harapan-harapan ini dinotasikan dalam bentuk statistik maka kemungkinan (probabiltas) tercapainya sebuah kinerja bergerak dari 0 sampai 1. Jika harapan tercapainya kinerja adalah nol (0) berarti usaha yang akan dilakukannya sama sekali tidak berpengaruh terhadap capaian kinerja. Sebagai contoh, jika anda seorang tukang ketik namun tidak hafal susunan huruf di keyboard maka probabalitas untuk tidak membuat salah ketik bisa jadi sangat rendah, katakanlah hanya 10%. Bahkan mungkin saja probabilitasnya adalah nol yang berarti anda pasti membuat kesalahan.
Instrumen Perantara. Yang dimaksud dengan instrumen perantara adalah keyakinan seseorang bahwa keseluruhan hasil dari sebuah aktivitas sangat bergantung pada keberhasilan dalam melakukan sebuah aktivitas (kinerja). Artinya, kinerja akan menjadi instrumen untuk menciptakan keseluruhan hasil. Pada contoh diatas misalnya menyelesaikan skripsi merupakan instrumen untuk lulus sarjana. Tanpa skipsi bisa dikatakan bahwa anda tidak mungkin lulus sarjana. Menurut teori ini, instrumen perantara dinotasikan dalam kisaran antara –1,0 sampai +1,0. Notasi ini mengindikasikan bahwa jika keseluruhan hasil sepenuhnya tergantung pada kinerja maka derajat perantara = +1.0. Sedangkan derajat –1,0 menunjukkan bahwa keseluruhan hasil sama sekali tidak bergantung pada kinerja bahkan sebaliknya. Sebagai contoh, jika anda meluangkan banyak waktu bahkan ketika di kantor sekalipun untuk menulis skripsi boleh jadi karir anda malah bermasalah karena tugas-tugas kantor tidak terselesaikan.

Valensi. Seperti yang dimaksudkan Vroom, valensi adalah nilai manfaat yang diperoleh dari keseluruhan hasil. Nilai manfaat ini tentunya sangat bergantung pada preferensi seseorang. Artinya, keseluruhan hasil yang akan diperoleh boleh jadi dipandang sebagai bermanfaat bagi dirinya (valensi positif) atau sebaliknya sangat tidak bermanfaat bagi dirinya (valensi negatif). Sebagai contoh, jika dengan lulus sarjana anda akan mendapat promosi jabatan maka anda memandang lulus sarjana dengan valensi positif. Sebaliknya jika lulus sarjana anda malah akan ditempatkan di daerah terpencil yang tidak disukai maka anda akan menganggap bahwa lulus tidak memiliki nilai manfaat, atau valensi negatif. Valensi dengan demikian berkaitan erat dengan kebutuhan seseorang. Apakah  keseluruhan hasil tersebut sesuai dengan yang selama ini dibutukannya atau tidak. Dalam notasi, valensi bisa nyatakan dalam sebuah skala misalnya antara –10 sampai dengan +10. Valensi +10 berarti keseluruhan hasil sangat cocok dengan kebutuhannya, valensi 0 berarti netral dan valensi –10 berarti bertolak belakang dengan kebutuhannya.
Dari keseluruhan penjelasan diatas, akhirnya teori pengharapannya Vroom dapat dibuatkan formula perhitungan sebagai berikut:
Effort (Usaha) = exp S (I.V)
Dimana: exp adalah ekspektasi atau harapan
              I adalah Instrumen*perantara
             V adalah valensi.

8.      Teori Ekspektasi Menurut Porter dan Lawler III.
Teori pengharapan yang dikemukakan Vroom seperti tersebut diatas kemudian diperbaharui oleh dua orang peneliti prilaku organisasi yaitu: Lyman Porter dan Edward Lawlwer III.  Kedua peneliti ini mengembangkan teori perharapannya Vroom untuk (1) mengidentifikasi sumber-sumber valensi dan ekspektasi dan (2) menjelaskan keterkaitan antara usaha dengan kinerja dan kepuasan kerja.

9.      Equity Theory
Hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan seringkali dianggap sebagai hubungan yang bersifat transaksional. Karyawan dan perusahaan seolah-olah merupakan dua belah pihak yang sedang melakukan transaksi atau pertukaran. Karyawan merupakan pihak yang menjual sumberdaya (labor power) kepada pihak perusahaan. Sumberdaya yang dijual karyawan diantaranya adalah: pendidikan, tenaga kerja, pengalaman, ketrampilan dan usaha. Perusahaan di sisi lain, sebagai pihak yang membeli jasa karyawan mempunyai kewajiban untuk membayar karyawan, katakanlah berupa gaji, bonus, kompensasi, promosi jabatan dan sebagainya. Hubungan pertukaran antara karyawan dengan perusahaan seperti ini sering disebut sebagai “hubungan saling menerima dan memberi” atau sederhananya disebut hubungan pertukaran social. Dalam pertukaran social seperti ini, kedua belah pihak seharusnya memiliki kedudukan setara. Namun dalam praktik, karyawan seringkali berada pada posisi lemah sehingga tidak jarang karyawan merasa diperlakukan tidak adil. Akibatnya tidak jarang pula karyawan membalas ketidakadilan tersebut, yang paling ekstrim misalnya mencuri atau merusak asset perusahaan dan yang paling sederhana sekedar menunjukkan sikap dan prilaku negatif terhadap perusahaan dan menurunnya motivasinya.
Gambaran diatas secara tidak langsung menunjukkan bahwa persepsi karyawan terhadap rasa keadilan/ketidakadilan merupakan salah satu factor yang mempengaruhi motivasi karyawan dalam bekerja. Teori motivasi yang menjelaskan hal ini disebut equity theory. Teori yang pertama kali digagas oleh J. Stacy Adams ini pada dasarnya berasumsi bahwa dalam pertukaran social, karyawan akan mempertanyakan apakah hubungan kedua belah pihak merupakan hubungan yang setara atau sebaliknya karyawan diperlakukan secara tidak adil. Karyawan mengukur tingkat kesetaraan tersebut dengan mengukur apakah input yang dikeluarkannya sebanding dengan hasil atau outcome yang akan diterima. Perbandingan input-output ini kemudian diperbandingkan dengan input-output dari orang lain yang dikenalnya, misalnya yang melakukan pekerjaan yang sama, memiliki pendidikan sama, atau jenis kelamin sama, atau dengan pengalaman diri untuk pekerjaan yang sama sebelumnya. Yang dimaksud dengan input adalah semua pengorbanan yang memungkinkan seorang karyawan melaksanakan pekerjaan, termasuk didalamnya: pendidikan, pengalaman, ketrampilan dan usaha. Sedangkan yang dimaksud dengan output adalah berbagai macam bentuk imbalan yang diberikan perusahaan kepada karyawan. Diantaranya adalah: gaji, penghargaan, kesempatan untuk mengembangkan diri dan sebagainya.

10.  Goal Setting Theory
Sebagai makhluk hidup, manusia pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai. Sebagian orang menginginkan harmoni kehidupan. Sebagiannya lagi menginginkan hidup yang sejahtera dan sebagiannya lagi memiliki tujuan hidup yang lain (lihat modul 2 tentang nilai-nilai individu). Hanya saja tujuan hidup tersebut terkadang tidak mudah digapai. Penyebabnya bukan karena tidak mampu menggapainya tetapi lebih disebabkan karena seseorang kadang-kadang diliputi keraguan dalam menentukan tujuan hidupnya. Misalnya apakah harmoni kehidupan atau mencapai puncak prestasi yang sesungguhnya menjadi tujuan hidupnya seringkali tidak bisa ditetapkan secara tegas. Keraguan dalam menetapkan tujuan secara berturut-turut menjadi penyebab tidak fokusnya upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Sebaliknya, jika seseorang sejak semula telah memiliki dan menetapkan tujuan yang spesifik, hampir pasti intensitas, pilihan dan persistensi tindakan akan difokuskan dan diorientasikan kearah tujuan tersebut. Akibatnya tujuan akan jauh lebih mudah dicapai.

Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi dalam kehidupan sebuah organisasi. Seorang karyawan yang bekerja serabutan tanpa tugas, beban kerja dan target yang jelas, jangankan kinerjanya baik, ia malah sering mengalami frustasi karena tidak ada pedoman dalam melakukan pekerjaan. Akibatnya pada saat-saat tertentu ia merasa beban kerjanya berlebihan – overload dan pada waktu yang lain ia merasa sebaliknya underload. Ujung-ujungnya kinerjanya bahkan semakin memburuk karena terjadi demotivasi. Sebaliknya jika sejak semula karyawan tersebut diberi tugas, beban kerja dan target yang jelas dan iapun memahami dan menyadari akan beban tugas tersebut sebagai beban tugas yang harus diselesaikannya, karyawan tersebut dapat mengonsentrasikan energi dan upayanya untuk menyelesaikan tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Bahkan bukan tidak mungkin semua target bisa diselesaikannya dalam waktu yang lebih singkat dari yang diharapkan. Semua ini bisa terjadi karena kejelasan tugas akan mendorong dan memotivasi seseorang untuk bekerja lebih baik dan lebih produktif. Atau dengan kata lain, penetapan tujuan (goal setting) yang jelas akan mempengaruhi motivasi seseorang untuk mencapai tujuan tersebut dan meningkatkan kinerjanya. Sebagai contoh, ketika Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka menegaskan bahwa modul “Prilaku Organisasi” harus diselesaikan dalam waktu 8 bulan atau kontrak kerja akan dibatalkan, penulispun sadar bahwa semua energi harus dikerahkan untuk menyelesaikan modul tersebut atau pekerjaan menjadi sia-sia.
Teori motivasi yang berkaitan dengan penetapan tujuan dan dampaknya terhadap kinerja disebut goal setting theory. Teori ini digagas oleh Edwin Locke pada tahun 1968. Meski sering disebut sebagai orang pertama yang menggagas goal setting theory, Locke sendiri mengacu pada mazhab scientific management yang dikembangkan oleh Frederick Taylor. Menurut Locke, meski Taylor tidak berbicara goal setting, tetapi cara Taylor mendorong karyawan untuk bekerja lebih produktif, yang ditandai dengan menetapkan standard pencapaian kinerja, tidak lain adalah sebuah motivasi berbasis goal setting. Hanya saja, pada waktu itu Taylor menggunakan studi waktu dan gerak (time and motion study) sebagai dasar untuk menetapkan tujuan dan kinerja karyawan
Seperti tercermin dari namanya, goal setting theory merupakan teori motivasi berbasis tujuan. Dengan demikian tujuan dengan segala variasinya seperti target dan sasaran merupakan kata kunci untuk memahami goal setting theory. Teori ini menyatakan bahwa tujuan yang spesifik dan sulit, jika bisa diterima dan dipahami karyawan, akan meningkatkan kinerja karyawan ketimbang tujuan yang bersifat umum dan tidak spesifik, mudah dicapai dan tidak ada tujuan. Dalam hal ini peningkatan kinerja yang disebabkan karena tingkat kekhususan dan kesulitan tujuan disebut goal setting effect – dampak penetapan tujuan. Sedangkan prosedur penetapan tujuan disebut goal setting technique – teknik penetapan tujuan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar